Selasa, 04 Desember 2018

🇵 🇦 🇳 🇯 🇮

Matahari seperti enggan bersinar. Cahayanya pudar-pucat terbungkus cadar kelabu. Dedaunan pun enggan menari karna burung-burung tak berlagu ceria. Semesta senyap, udara makin pengap. Orang-orang bergerombol sambil bergumam. Tak jelas apa yang diperbincangkan. Semakin banyak yang bergerombol, semakin riuh gumaman. Gumam bersahut gumam. Udara pengap, langit makin kelam-kelabu. Matahari entah kemana.

Orang-orang masih bergerombol tapi tak bergumam. Diam. Di kejauhan ada yang berkibar. Semakin dekat dan mendekat. Orang-orang tercekat. Barisan berpanji mendekat. Riuh kibaran panji, riuh pula sorak-sorai mereka. Suara lantang berkerontang membelah senyap. Orang-orang tak lagi bergumam. Mereka memilih diam memendam beribu tanya. Saling pandang dan mengamati keadaan. Barisan berpanji makin riuh dalam sorak, makin sering pula mengumpat. Udara makin pengap. Hujat dan umpat mengisi ruang-ruang udara. Menggetarkan semesta, menorehkan luka.

Agak jauh dari kerumunan, seorang ibu berbaju lusuh mendekap anaknya. Bibirnya lirih bersenandung.  Wajahnya ditempelkan nyaris lekat ke telinga anaknya. Seakan ia tak rela telinga mungil itu disusupi segala hujat dan umpat yang menebar di angkasa. Senandung lirihnya ia harap mampu menembus bilik-bilik hati anaknya.

Wagir, 041218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar